Senin, 16 Desember 2013

PERGURUAN ILMU SEJATI
A.    Sejarah Lahirnya Perguruan Ilmu Sejati
Perguruan Ilmu Sejati bukanlah sebuah aliran kebatinan ataupun kejawen, melainkan adalah sebuah ajaran yang menekankan pada “Dunungnya Manusia kepada Tuhannya”.
Ajaran dari Perguruan Ilmu Sejati berawal dari almarhum Romo Raden Soedjono Prawirosoedarso yang lahir di Sumberumis, Madiun tahun 1875. Beliau adalah putra dari Palang Babatan Balerejo Madiun. Waktu masih muda nama Romo Soedjono adalah R. Imam Soedjono, pemberian Kyai Imam Muhadi dari Legundi, Karangjati, Ngawi.
Pada tahun 1883, R. R. Soedjono Prawirosoedarso belajar kepada seorang kyai dari Padangangan, Bojonegoro yang bernama Kyai H. Samsudin Betet yang mengajarkan ajaran dari Imam Sufingi. Tahun 1893 beliau lulus pendidikan sekolah di Boyolali, Surakarta. Semasa kecilnya Romo Soedjono senang menimba ilmu dari beberapa guru di Nusantara.
Tahun 1896, Romo bekerja di kantor Karisidenn Yogyakarta, namun hanya bertahan sampai tahun 1905, yang memilih mengundurkan diri karena ingin melanjutkan perjalanannya untuk berguru. Dalam perjalanannya, Romo sudah berguru dengan 52 perguruan di Nusantara dan tak lupa dalam perjalanannya juga bertemu para Aulia’ yang memberikan saran sebagai berikut:
“Den, enggalo kondur wae, saperlu madhangana wong kang kapetengan; elingna wong kang lali; lan payungana wong kang kudanan utawa kepanasan”.
Pada tahun 1910, Romo menjadi anggota Sarekat Islam di Jepara, sambil bertani di Lereng Gunung Muria, sekaligus untuk memperdalam ilmu yang telah didapatkannya. Selama itu Romo guru belumpernah menerima murid satupun. Setelah pada tahun 1916 Romo kedatangan seseorang untuk berguru kepadanya, namun Romo menolaknya. Akhirnya, karena melihat tekadnya yang ulet, Romo Guru mengangkatnya sebagai murid pertamanya.
Pada tahun 1920, ibunda Romo Guru memanggilnya untuk pulang ke Babatan, Balerejo, Madiun. Pada saat itu juga Romo Guru keluar dari SerikatIslam dengan alasan tidak ingin durhaka kepada orang tua. Selama itu juga Romo sering menerima kunjungan dari banyak orang yang meminta wirid kepadanya.
Di tahun 1925, perkembangan muridnya semakin pesat yang akhirnya menimbulkan kecurigaan Pemerintah Penjajah Belanda. Kemudian Romo memutskan untuk pindah ke Sukorejo, Saradan, Caruban, Madiun. Walaupun sudah berpindah tempat, perkembangan muridnya semakin pesat. Sehingga menimbulkan anggapan adanya perguruan baru yang dikhawatirkan akan memberontak kepada Pemerintahan Penjajah Belanda. Pada waktu yang sama Romo Guru dipanggil Bupati Madiun yang dijabat RM. Hadipati Ronggo Haryo Koesnodiningrat, untuk dimintai keterangan perihal ajaranya dan membuat laporan langsung untuk Governoor Jendral Betawi. Romo Guru dimantapkan dengan beberapa pertanyaan oleh sang bupati, salah satunya mengenai nama perguruan yang telah diajarkan oleh Romo Guru. Akan tetapi Romo tidak mempunyai jawaban akan hal itu, sehingga sang bupati memberikan usulan untuk memberi nama perguruan itu dengan nama “Perguruan Ilmu Sejati”, kemudian mengajak Romo ke Kawedanan Caruban untuk memperoleh surat keputusan tanda penerimaan no. 2 tgl. 13 Oktober 1925, menurut Ordonansi 1925 Statblat 1925, no. 219 artikel 1, waktu itu juga ditetapkan sebagai lahirnya Perguruan Ilmu Sejati.
Tahun 1954, R. R. Soedjono Prawirosoedarso selaku independen dicalonkan untuk keanggautaan DPR RI dan Konstitusi. Tiga tahun kemudian Romo Guru mengundurkan diri dari DPR RI karena sudah lanjut usia. Beliau wafat pada tnggal 22 Oktober 1961. Sebagai penerusnya ditunjukklah puteranya R. Soewarno Prawirosoedarso, yang kemudian melaporkan data-data terkait Perguruan Ilmu Sejati tahun 1980, kemudian mendirikan Gedung Pemulangan Perguruan Ilmu Sejati di Sukorejo Saradan Caruban Madiun. Setelah wafat digantikan oleh Romo R. Kresna D. Prawirosoedarso, sebagai penerus Perguruan Ilmu Sejati sampai sekarang.
B.     Ajaran Perguruan Ilmu Sejati
Ilmu Sejati dan semua agama di dunia memiliki pokok yang sama, yakni menuju kepada kesucian, hanya saja dalam jalan untuk menempuhnya yang berbeda. Semua pemeluk agama apapun boleh berguru di perguruan ini, asalkan mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk menjadi murid dan bersedia menjalankan ajaran sepenuh hati dan juga mampu mentaati tata tertib perguruan.
Ajaran dalam Ilmu Sejati adalah “SANGKAN PARANING DUMADI” terbagi ke dalam beberapa inti yang tertera pada “PENGET” yang sudah dibawa oleh para murid, inti yang pertama mengajarkan tata krama yaitu harus menghormati kedua orang tua; saudara; pemimpin; dan juga guru. Kedua, manusia diajarkan untuk sabar; tawakal; rela; menerima apa adanya; dan juga harus bersungguh-sungguh.

Ajaran Ilmu Sejati sebenarnya hasil transliterasi ajaran dalam agama islam yang telah dibawa oleh para wali ke Nusantara, yang kemudian dialihkan ke bahasa jawa dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat itu sehinga dapat difahami dan diterima dengan senang hati.
PAGUYUBAN SAPTA SILA
A.      Pengertian
Sapta Sila adalah dasar ilmu kebatinan (mistisisme) untuk patokan hidup yang berdasarkan pada ke-Tuhanan. Secara terminologi, “sapta” berarti tujuh dan “sila” adalah tatanan / peraturan. Maka sapta sila adalah tujuh tatanan/ peraturan hidup manusia yang berdasar pada Tuhan Yang Maha Esa.
Paguyuban Sapta Sila didirikan oleh Bapa Guru D. Sastrowidjojo, yang disahkan oleh pemerintah melalui tanda inventarisasi tanggal 31 Desember 1983, dengan penanggung jawab Imam Soekirno di Desa Purworejo, Kec. Ceger, Kab. Madiun.
B.     Ajaran Sapta Sila
Seperti halnya dengan Panca Sila yang digunakan sebagai landasan dasar hukum negara, Sapta sila digunakan sebagai landasan dasar hukum dalam masyarakat yang berdasar pada ke-Tuhanan.
Mereka mempercayai adanya Tuhan seperti halnya agama lain. Ajaran paguyuban ini lebih menekankan pada aspek pencarian jati diri seseorang untuk menuju kepada keluhuran budi yang sesungguhnya. Untuk menuju itu semua, seseorang diajarkantujuh tatanan yakni sabar, eling, nerima, welas, asih, ikhlas, dan percaya.
Sabar, seseorang harus mampu mmberikan maaf terhadap semua kesalahan baik perilaku maupun ucapan orang lain yang menyakitinya. Konsep ini seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, semasa beliau diangkat menjadi Nabi. Dan juga sesorang tidak boleh tergesa-gesa sebelum bertindak, harus memikirkan matang-matang akan keputusan yang akan diambilnya. Eling, berarti kita harus menghindari segala perbuatan dan ucapan yang tercela yang dapat merugikan orang lain selebihnya diri sendiri. Nerima, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengakibatkan kecemburuan dan iri hati atas bagian yang diperoleh orang lain. Welas, selalu menolong sesama tanpa adanya imbalan. Asih, tidak mengolok-olok atas kekurangan orang lain. Ikhlas, selalu menerima dengan lapang hati segala pemberian dan tidak mengejar keduniawian. Percaya, meyakini adanya Gusti Allah dan segala keagungannya.
Kandungan dari bentuk ajaran Paguyuban Sapta Sila adalah sebagai berikut:
1.      Tata Braja: manusia harus hidup guyub rukun, gotong royong untuk mewujudkan kehidupan yang sentausa.
2.      Tata Krama: dengan sesama harus saling menghormati.
3.      Tata Sila: harus mengerti terhadap muda-tua, besar-kecil.
4.      Tata Gama: mengamalkan paham kepercayaan ke-Tuhanan.
5.      Tata Praja: setia hati kepada negara yang mewujudkan tata tentrem.

Pengajaran ajaran Sapta Sila adalah manusia dalam hidup keseharian harus mengerti wujud, kekuasaan beserta sifat dari Gusti Allah. Tidak bisa manusia itu kecewa dengan dirinya sendiri, mengira-ngira, mengaku dan mengolok-olok Gusti Allah. Kita sebagai manusia haruslah saling menghargai sesama, tidak boleh iri hati, membuka aib orang lain, mencela orang lain, merugikan serta membuat geli hati orang lain. Dalam menjalankan ajaran Paguyuban Sapta Sila, harus sehat rohaninya, tekun dan bersungguh-sungguh untuk menciptakan keselarasan bagi semua makhluk hidup.
PAGUYUBAN SAPTA SILA
A.      Pengertian
Sapta Sila adalah dasar ilmu kebatinan (mistisisme) untuk patokan hidup yang berdasarkan pada ke-Tuhanan. Secara terminologi, “sapta” berarti tujuh dan “sila” adalah tatanan / peraturan. Maka sapta sila adalah tujuh tatanan/ peraturan hidup manusia yang berdasar pada Tuhan Yang Maha Esa.
Paguyuban Sapta Sila didirikan oleh Bapa Guru D. Sastrowidjojo, yang disahkan oleh pemerintah melalui tanda inventarisasi tanggal 31 Desember 1983, dengan penanggung jawab Imam Soekirno di Desa Purworejo, Kec. Ceger, Kab. Madiun.
B.     Ajaran Sapta Sila
Seperti halnya dengan Panca Sila yang digunakan sebagai landasan dasar hukum negara, Sapta sila digunakan sebagai landasan dasar hukum dalam masyarakat yang berdasar pada ke-Tuhanan.
Mereka mempercayai adanya Tuhan seperti halnya agama lain. Ajaran paguyuban ini lebih menekankan pada aspek pencarian jati diri seseorang untuk menuju kepada keluhuran budi yang sesungguhnya. Untuk menuju itu semua, seseorang diajarkantujuh tatanan yakni sabar, eling, nerima, welas, asih, ikhlas, dan percaya.
Sabar, seseorang harus mampu mmberikan maaf terhadap semua kesalahan baik perilaku maupun ucapan orang lain yang menyakitinya. Konsep ini seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, semasa beliau diangkat menjadi Nabi. Dan juga sesorang tidak boleh tergesa-gesa sebelum bertindak, harus memikirkan matang-matang akan keputusan yang akan diambilnya. Eling, berarti kita harus menghindari segala perbuatan dan ucapan yang tercela yang dapat merugikan orang lain selebihnya diri sendiri. Nerima, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengakibatkan kecemburuan dan iri hati atas bagian yang diperoleh orang lain. Welas, selalu menolong sesama tanpa adanya imbalan. Asih, tidak mengolok-olok atas kekurangan orang lain. Ikhlas, selalu menerima dengan lapang hati segala pemberian dan tidak mengejar keduniawian. Percaya, meyakini adanya Gusti Allah dan segala keagungannya.
Kandungan dari bentuk ajaran Paguyuban Sapta Sila adalah sebagai berikut:
1.      Tata Braja: manusia harus hidup guyub rukun, gotong royong untuk mewujudkan kehidupan yang sentausa.
2.      Tata Krama: dengan sesama harus saling menghormati.
3.      Tata Sila: harus mengerti terhadap muda-tua, besar-kecil.
4.      Tata Gama: mengamalkan paham kepercayaan ke-Tuhanan.
5.      Tata Praja: setia hati kepada negara yang mewujudkan tata tentrem.

Pengajaran ajaran Sapta Sila adalah manusia dalam hidup keseharian harus mengerti wujud, kekuasaan beserta sifat dari Gusti Allah. Tidak bisa manusia itu kecewa dengan dirinya sendiri, mengira-ngira, mengaku dan mengolok-olok Gusti Allah. Kita sebagai manusia haruslah saling menghargai sesama, tidak boleh iri hati, membuka aib orang lain, mencela orang lain, merugikan serta membuat geli hati orang lain. Dalam menjalankan ajaran Paguyuban Sapta Sila, harus sehat rohaninya, tekun dan bersungguh-sungguh untuk menciptakan keselarasan bagi semua makhluk hidup.
PAGUYUBAN SAPTA SILA
A.      Pengertian
Sapta Sila adalah dasar ilmu kebatinan (mistisisme) untuk patokan hidup yang berdasarkan pada ke-Tuhanan. Secara terminologi, “sapta” berarti tujuh dan “sila” adalah tatanan / peraturan. Maka sapta sila adalah tujuh tatanan/ peraturan hidup manusia yang berdasar pada Tuhan Yang Maha Esa.
Paguyuban Sapta Sila didirikan oleh Bapa Guru D. Sastrowidjojo, yang disahkan oleh pemerintah melalui tanda inventarisasi tanggal 31 Desember 1983, dengan penanggung jawab Imam Soekirno di Desa Purworejo, Kec. Ceger, Kab. Madiun.
B.     Ajaran Sapta Sila
Seperti halnya dengan Panca Sila yang digunakan sebagai landasan dasar hukum negara, Sapta sila digunakan sebagai landasan dasar hukum dalam masyarakat yang berdasar pada ke-Tuhanan.
Mereka mempercayai adanya Tuhan seperti halnya agama lain. Ajaran paguyuban ini lebih menekankan pada aspek pencarian jati diri seseorang untuk menuju kepada keluhuran budi yang sesungguhnya. Untuk menuju itu semua, seseorang diajarkantujuh tatanan yakni sabar, eling, nerima, welas, asih, ikhlas, dan percaya.
Sabar, seseorang harus mampu mmberikan maaf terhadap semua kesalahan baik perilaku maupun ucapan orang lain yang menyakitinya. Konsep ini seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, semasa beliau diangkat menjadi Nabi. Dan juga sesorang tidak boleh tergesa-gesa sebelum bertindak, harus memikirkan matang-matang akan keputusan yang akan diambilnya. Eling, berarti kita harus menghindari segala perbuatan dan ucapan yang tercela yang dapat merugikan orang lain selebihnya diri sendiri. Nerima, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang mengakibatkan kecemburuan dan iri hati atas bagian yang diperoleh orang lain. Welas, selalu menolong sesama tanpa adanya imbalan. Asih, tidak mengolok-olok atas kekurangan orang lain. Ikhlas, selalu menerima dengan lapang hati segala pemberian dan tidak mengejar keduniawian. Percaya, meyakini adanya Gusti Allah dan segala keagungannya.
Kandungan dari bentuk ajaran Paguyuban Sapta Sila adalah sebagai berikut:
1.      Tata Braja: manusia harus hidup guyub rukun, gotong royong untuk mewujudkan kehidupan yang sentausa.
2.      Tata Krama: dengan sesama harus saling menghormati.
3.      Tata Sila: harus mengerti terhadap muda-tua, besar-kecil.
4.      Tata Gama: mengamalkan paham kepercayaan ke-Tuhanan.
5.      Tata Praja: setia hati kepada negara yang mewujudkan tata tentrem.

Pengajaran ajaran Sapta Sila adalah manusia dalam hidup keseharian harus mengerti wujud, kekuasaan beserta sifat dari Gusti Allah. Tidak bisa manusia itu kecewa dengan dirinya sendiri, mengira-ngira, mengaku dan mengolok-olok Gusti Allah. Kita sebagai manusia haruslah saling menghargai sesama, tidak boleh iri hati, membuka aib orang lain, mencela orang lain, merugikan serta membuat geli hati orang lain. Dalam menjalankan ajaran Paguyuban Sapta Sila, harus sehat rohaninya, tekun dan bersungguh-sungguh untuk menciptakan keselarasan bagi semua makhluk hidup.
dihati penuh gelisah, merenung dipinggir jalan
melihat kesehariannya dengan penuh derita.

sejak kecil dilahirkan dari keluarga tak ada,
hanya beralaskan tikar dengan atap semampunya.
5 tahun usianya ditinggal ibu terpuja, hidup dengan ayahnya dengan apa adanya,
inilah kisah pemulung yang penuh suka duka.
tanpa kasih ibunda dia mulai merasa, tak ada yang menjaga disaat dia terluka.
ayahnya yang selalu bekerja, tanpa tahu hasilnya.
setiap hari mencari barang bekas, hanya untuk anaknya.
inilah kisah pemulung yang penuh suka duka.
10 tahun usianya, wafat ayahandanya.
hidup sebatang kara, dengan lingkungan yang terhina.
20 tahun usia dia mendapatkan lelaki idaman.
namun hidupnya tak lepas dari derita.
inilah kisah pemulung yang penuh suka duka.
40 tahun usia, ditinggal suaminya.
anak pun tak punya, hati pun bertambah tersiksa.
namun semangatnya, tak slalu terpudar.
dia terus bekerja, tanpa henti-hentinya.
walaupun tak seperti yang kaya, dia slalu bersyukur.
disetiap langkahnya di temani Tuhannya.
inilah kisah pemulung yang penuh suka duka.


together:
MENERAWANG ISU KAJIAN SOSIOLOGI AGAMA DI INDONESIA
Sosiologi sejak awal memiliki perhatian khusus pada masalah agama, yang kemudian di belakang hari dikenal dengan kajian sosiologi agama. Karya Ibn Khaldum (Muqaddimah) sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai sosiologi agama di era klasik. Emile Durkheim dan Marx Weber termasuk sosiolog klasik di Barat yang secara khusus menyajikan kajian sosiologi agama, di samping Karl Marx dalam tema yang terbatas. Para sosiolog ternama lainnya di era mutakhir yang secara khusus menyajikan sosiologi agama ialah Bryan Wilson, Peter Berger, Roland Robertson, Bryan S. Turner, Robert N. Bellah, dan lain-lain.
Di Indonesia belum banyak sosiolog yang menyajikan sosiologi agama secara spesifik, pada umumnya karya-karya tentang agama khususnya tentang Islam, lebih kuat tekanannya pada studi Islam (Islamic studies, dirasat Islamiyah), kecuali karya-karya disertasi/buku dengan mengambil fokus kajian aspek agama. Karena itu, sejauh pengamatan penulis, kajian tentang sosiologi agama atau bahkan sosiologi agama itu sendiri, di negeri ini tampaknya masih merupakan wilayah kajian yang masih terbatas. Padahal, masalah agama dengan dinamika kehidupan pcmeluknya merupakan persoalan yang penting dan krusial dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang mernerlukan perspektif sosiologi agama yang lebih spesifik atau terfokus, di luar kajian studi Islam.
Rintisan Prof.H.A.Mukti Ali mengcnai agama dan masyarakat sebenarnya dapat dijadikan studi awal dan titik-tolak untuk sosiologi agama di Indonesia, kendati masih bersifat gabungan antara studi Islam dan sosiologi agama (Islam). Karya-karya Atho Mudzhar (Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek), Amin Abdullah (Islamic Studies), UIN Yogyakarta dan Jakarta, LIPI, UGM, dan Balitbang Depag R.l. dapat dijadikan masukan untuk pengembangan sosiologi agama. Penulis belum tahu persis bagaimana perkcmbangan kajian sosiologi agama di lingkungan UIN/IAIN yang dalam dasawarsa terakhir banyak memasuki wilayah sosiologi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, perlu dilakukan penelitian khusus mengenai masalah tersebut.
Studi Islam sendiri  sangatlah penting, namun memerlukan perspektif yang lebih empirik dengan pengembangan metodologi yang bersifat  multi-perspcktif dan multi-analisis, mengingat fenomena agama dan kehidupan beragama sangatlah kompleks. “Islamic studies” atau “Dirasat Islamiyah” terutama dalam perspektif yang selama ini  dikembangkan di dunia akadamik perguruan tinggi Islam memang Iebih memusatkan perhatian kajiannya pada aspek-aspek khusus keagamaan dan ajaran Islam atau dunia pemikiran Islam. Dalam acuan di Departemen Agama, kajian tersebut meliputi aspek-aspek studi al Qur’an dan Hadis (Ulumul Qur’an dan Ukumul Hadis), pemikiran dalam Islam (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Aliran Modern), Fikih/Hukum Islam dan Pranata Sosial (Fikih Islam, UsuI Fikih, Pranata Sosial, Ilmu Falak), Sejarah dan Peradaban Islam (Sejarah lsIam dan Peradaban Islam), Bahasa (Bahasa arab dan Sastra Arab). Pendidikan Islam (Pendidikan dan Pengajaran Islam, Ilmu Nafsil Islamy), Dakwah lslamiyah (Dakwah Perbandingan Agama), dan Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (Hukum, Politik, Sosial, Ekonomi) .
Namun menarik pula bahwa dalam kurun tcrakhir “Islamic Studies” juga mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) antara wilayah “keagamaan” dan “keilmuan” serta antara “normativitas” dan “historisitas” , bahkan muncul tuntutan adanya “integrasi” atau “interkoneksitas” dengan ilmu-ilmu sosial dan berbagai paradigma lain . Artinya studi Islam pun mengalami perkembangan yang pesat, yang mempertemukannya dengan studi-studi agama di wilayah sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, ekonomi, selain area teologi. Tetapi memang memerlukan “the body of knowledge” yang jelas tentang posisi studi agama (khususnya studi Islam) dibandingkan pendekatan-pendekatan kajian agama berbasis sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ada keperluan pula dalam studi agama, yakni memberikan pemahaman yang luas dan mendalam bagi pemeluk agama tentang agamanya, sehingga agama benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin di mana pun agama dan umat beragama itu hadir.